Linkin Park

NIAT DALAM ISLAM

Hakikat Niat Atau Definisi Niat

Kata Niat dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya. Al-Azhari mengatakan bahwa kalimat ( Nawaakallahu ) artinya adalah ’semoga Allah menjagamu,` Orang Arab juga sering berkata (Nawaakallahu) dengan maksud ’semoga Allah menemanimu dalam perjalanan dan menjagamu.’ Dengan kata lain ( Niyyatu ) berarti kehendak atau ( Alqosdu ), yaitu yakinhya hati untuk melakukan sesuatu dan kuatnya kehendak untuk melakukannya tanpa ada keraguan. Sehingga ( Niyyatu ) dan menginginkan sesuatu ( Iroodatulfi`li ) adalah sinonim. Kedua kata tersebut sama-sama digunakan untuk menunjukkan pekerjaan yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi.

Sebagian pakar bahasa membedakan arti antara kata ( Niyyatu ) dengan kata ( ajmu ) Kata ( Niyyatu ) digunakan untuk menunjukkan keinginan yang berhubungan dengan perbuatan yang sedang dilakukan, sedangkan kata ( ajmu ) digunakan untuk menunjukkan keinginan yang berhubungan dengan perbuatan yang akan dilakukan. Tetapi, pembedaan makna ini ditentang oleh para ulama, karena dalam kitab-kitab yang membahas bahasa (kutub al- lughah) kata ( Niyyatu ) seringkah hanya diartikan dengan ( ajmu ).

Adapun menurut istilah syara’ (Niyyatu) adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain. Niat juga dapat diartikan dengan keinginan yang berhubungan dengan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan. Atas dasar ini, maka setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berakal, dalam keadaan sadar dan atas inisiatif sendiri, pasti disertai engan niat baik perbuatan tersebut berkenaan dengan ibadah maupun adat kebiasaan. Perbuatan yang dilakukan oleh orang mukal- iaf tersebut merupakan objek yang menjadi sasaran hukum-iiukum syara’ seperti wajib, r.aram, nadb/sunnah, makruh, dan mubah.

Adapun per matan yang tidak disertai dengan niat, maka d’anggap perbuatan orang yang lalai, tidak diakui, dan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum syara’. Apabila satu perbuatan dilakukan oleh orang yang tidak berakal dan tidak dalam keadaan sadar seperti dilakukan oleh orang gila, orang yang lupa, orang yang tidak sengaja, atau orang yang dipaksa, maka perbuatan tersebut tidak diakui dan tidak ada kaitannya dengan hukum-hu- kum syara’ yang telah disebut di atas. Karena, perbuatan tersebut tidak disertai dengan niat, dan perbuatan tersebut tidak diakui oleh syara’ dan tidak ada kaitannya dengan tuntutan (thalab) atau tawaran untuk memilih (takhyir).

Apabila perbuatan tersebut termasuk adat kebiasaan seperti makan, minum, berdiri, duduk, berbaring, berjalan, tidur, dan sebagai- nya yang dilakukan oleh orang berakal, dalam keadaan sadar dan tanpa niat, maka perbuatan tersebut dihukumi boleh, jika tidak dibarengi dengan perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan. Dan juga, perbuatan tersebut diakui/dinilai oleh syara’.

Mungkin ada yang bertanya mengapa wudhunya orang yang lupa menjadi batal; orang gila atau anak kecil diwajibkan mengganti benda-benda yang dia rusak, dan mengapa orang yang tidak sengaja melakukan pembunuhan, memotong anggota badan orang lain, menghilangkan fungsi pendengaran dan penglihatan, menampar atau menyebabkan bergesernya sendi tulang diwajibkan membayar denda (diyat)? Ketiga kasus ini tidak ada hubungannya dengan hukum syara’, melainkan ia berhubungan dengan hukum natural [al-hukm al-wadh’i), yaitu hukum-hukum yang berupa sebab, syarat, penghalang, atau hukum shahih, fasid, ‘azimah, atau rukhshah. Sehingga, merusak harta orang lain menjadi sebab wajibnya mengganti kerusakan tersebut, baik yang melakukan kerusakan itu anak kecil maupun orang dewasa, orang berakal maupun orang gila.

Apabila kita perhatikan lagi, maka kita dapati bahwa makna niat dalam puasa adalah keinginan secara umum (al-iradah al-kulli- yyah), dan hal ini merupakan makna niat secara umum. Sehingga, niat puasa dari malam hari tetap dianggap sah, dan niat puasa tidak disyaratkan harus berbarengan dengan awai memulai puasa, yaitu sewaktu menyingsingnya fajar. Sehingga kalau seandainya ada orang yang niat pada malam hari kemudian makan lalu puasa, maka sah puasanya. Adapun selain puasa, yaitu ibadah-ibadah yang menuntut niat, harus dibarengkan dengan awai perbuatan supaya sah. Maka dalam melakukan niat tersebut, seseorang harus melakukannya dengan nyata (tahqiqan), yaitu memunculkan keinginan berbarengan dengan awai perbuatan. Inilah yang dimaksud dengan niat sebagai rukun ibadah seperti wudhu, mandi wajib, ta- yamum, shalat, puasa, zakat, dan haji, sebagaimana pendapat ulama-ulama madzhab Syafi’i.

Begitu juga dengan niat-niat akad dan faskh yang berbentuk ungkapan majaz (kina- yah), niat dalam akad seperti itu harus nyata (fahqiq), yaitu munculnya niat harus berbarengan dengan lafal akad yang berbentuk kinayah, atau berbarengan dengan penulisan atau berbarengan dengan isyarat orang bisu yang dapat dipahami oleh orang yang mengetahuinya. Begitu juga dalam masalah pengecualian (al-istitsna’j dalam ikrar dan talak, syarat (ta’Iiq) talak dengan menggunakan ka- limah "insya Allah," maka niatnya harus ber bentuk niat yang nyata-nyata (tahqiq) muncul di hati sebelum selesai mengucapkan kata yang dikecualikan.

Kesimpulan dalam pembahasan hakikat niat adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab al-Hambali. Ketahuilah, sesungguhnya niat menurut arti bahasa adalah satu bentuk dari keinginan. Meskipun ada yang membedakan antara kata iradah, qushd, niyah, dan ’azam, namun bukan di sini tempat untuk membahasnya. Menurut ulama niat mempunyai dua makna. Pertama, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti untuk membedakan shalat Zhu- hur dengan shalat Ashar, untuk membedakan antara puasa Ramadhan dengan puasa yang lain, atau untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan seperti untuk membedakan antara mandi wajib dengan mandi untuk menyegarkan atau membersihkan ba- dan. Makna niat seperti ini adalah yang paling banyak dijumpai dalam kitab-kitab fiqih.

Kedua, untuk membedakan tujuan melakukan suatu amalan, apakah tujuannya adalah karena Allah saja atau karena Allah dan juga lain-Nya. Ini adalah maksud niat yang dibincangkan oleh para al-’Arifurt (ahli ma’rifat] dalam kitab yang membahas masalah ikhlas. Makna ini juga yang banyak dijumpai dalam ucapan ulama-ulama salaf. Imam Abu Bakar bin Abid Dunya mengarang sebuah kitab dengan judul Kitab al-Ikhlaash wan- Niyah, dan yang dimaksud dengan an-Niyah dalam kitab tersebut adalah niat dengan makna yang kedua ini. Makna kedua ini juga yang berulangkah dimaksudkan oleh Rasulullah saw. dalam sabda-sabdanya. Kadang-kadang beliau menggunakan kata dan kadang menggunakan kata yang semakna. Makna yang kedua ini juga banyak disebut oleh Al-Qur’an tetapi tidak menggunakan kata (O), melainkan menggunakan kata-kata lain yang mempunyai makna hampir sama.

Ulama yang membedakan antara kata an- niyah, al-iradah, al-qashdu dan lain-lain lagi bermaksud mengkhususkan kata an-niyah untuk menunjukkan makna yang pertama yang biasa dipakai oleh ulama fiqih. Namun, ada juga ulama yang mengatakan bahwa an-niyah adalah khusus untuk yang dilakukan oleh orang yang berniat, sedangkan kata al-iradah lebih umum dan tidak dikhususkan untuk apa yang dilakukan oleh orang yang berniat saja. Con- tohnya adalah "manusia ingin (yuridu) Allah mengampuni dosanyauntuk mengungkapkan kalimat ini tidak digunakan kata an-niyah. Sebagaimana sudah saya terangkan bahwa kata an-niyah dalam sabda Rasul dan ucapan- ucapan ulama salaf menunjukkan kepada arti yang kedua. Sehingga, ia juga mempunyai arti al-iradah. Oleh sebab itu, dalam Al-Qur’an kata al-iradah sering digunakan.